Tentang Kami
Social WorkerLAZISMU adalah lembaga zakat nasional dengan SK Menteri Agama RI No. 90 Tahun 2022, yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat, melalui
“Dasar anak cengeng!”
“Jadi anak kok manja!”
“Nakal banget sih kamu!”
Hayo, Ayah Bunda, siapa yang sering mengatakan kalimat seperti itu pada ananda? Jika Ayah Bunda selama ini sering memberi cap seperti itu pada anak, mulai saat ini coba dikurangi. Mengapa? Karena ananda tidak bermaksud melakukan hal-hal yang tampak manja, nakal, atau cengeng.
Kita sebagai orang tua tentu memahami bahwa memberikan kasih sayang adalah hal yang sangat penting untuk anak. Namun, ada yang tidak kalah penting dari memberinya kasih sayang, yaitu memahami perasaannya. Kelihatannya mudah dan sepele, tapi sudahkah kita benar-benar memahami perasaan mereka?
Seringkali kita sebagai orang tua merasa senang dan memuji bila anak mendapatkan nilai rapor yang bagus, menang lomba, atau menghabiskan makanan yang disiapkan untuknya. Sebaliknya, saat anak menangis dan merasa sedih atas sesuatu, kita malah menyuruhnya cepat-cepat berhenti menangis. Padahal, anak juga butuh diwadahi sebagaimana saat mereka senang.
Inilah yang disebut dengan validasi emosi. Validasi emosi adalah cara yang dilakukan orang tua untuk menunjukkan bahwa kita tahu dan memahami apa yang sedang dirasakan anak. Bila kita memuji dan bangga pada anak saat mereka senang, berilah ruang pula saat mereka sedih, kecewa, atau melakukan perilaku yang menurut kita tidak menyenangkan.
Bila anak menangis, cobalah untuk tidak langsung mengatakannya cengeng. Yang bisa kita lakukan adalah, duduk atau posisikan diri kita sejajar dengan anak sehingga kita bisa menatap matanya. Tanyakan pada mereka, kenapa mereka menangis, apakah mereka sedih? Apakah mereka ingin sesuatu? Apakah mereka kecewa? Apakah mereka merasa sakit?
Contoh, ketika anak jatuh dan lututnya lecet sedikit. Bagi kita itu sederhana dan mungkin tidak sakit. Tapi yang terjadi anak menangis meraung-raung. Kita dengan santainya mengatakan, “Diam, diam, gitu aja nangis.” Ini namanya penghakiman.
Bagaimana cara kita memvalidasi emosinya? Peluk anak, usap-usap punggungnya atau kepalanya sampai ia tenang. Tanyakan, “Ada yang sakit, Nak? Ada yang luka? Apa yang dirasakan?”
Beri perhatian penuh seakan-akan anak mengalami hal luar biasa. Perhatikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan anak lewat tangisannya yang meraung-raung itu. Bantu anak untuk mengatakan yang dirasakannya, sebab seringkali anak menangis karena ia tidak bisa mengatakan yang dirasakannya.
“Kakak tadi jatuh? Lalu lututnya lecet dan berdarah? Kakak nangis karena kaget, sakit, atau malu dilihat teman lain?”
Dengan begini, kita bisa memberikan respon yang tepat sesuai yang dibutuhkan anak. Tidak langsung membentak, memarahi, atau justru semakin mempermalukan anak di depan teman-temannya.
Begitu juga ketika anak nginthil terus pada orang tuanya. Mengikuti kemana pun orang tuanya pergi. Maunya dibantu terus. Jangan buru-buru mengatakan anak manja. Duduk dan ajaklah ananda berbincang, “Memangnya kenapa kakak ingin sama ibu terus? Kakak butuh dibantu? Kakak lagi butuh teman untuk ngobrol dan main?”
Ketika bermain dengan teman-temannya dan anak kita memukul atau merebut mainan temannya, cobalah untuk tidak langsung menyebut anak kita nakal. Tanyakan kenapa mereka memukul atau merebut mainan. Anak pasti punya pertimbangan dari sudut pandang mereka, kenapa mereka melakukan hal tersebut. Jika kita tahu alasannya, kita bisa memberikan contoh yang tepat, ketimbang menjulukinya anak nakal. Anak pun juga akan merasa tidak disalahkan begitu saja.
Menumbuhkan rasa empati, peduli, dan peka pada diri anak bukan hal yang instan. Perlu waktu panjang bagi orang tua sejak dini. Tentu saja bukan hal yang mudah. Orang tua perlu terus belajar dan peka dengan yang dialami anak.
Memahami Bukan Membebaskan
Memahami perasaan anak bukan hal yang berlebihan dan ibarat drama di layar kaca. Memahami perasaan anak penting untuk membantu anak meyakinkan dirinya bahwa perasaan yang dialaminya wajar.
Wajar anak merasa senang, sedih, kecewa, marah, takut, kesal, cemburu. Wajar pula mereka tertawa, menangis, cemberut, diam, berteriak.
Yang kita lakukan adalah memahami dan mengarahkan kemana perasaan itu harus dibawa dan bagaimana menyikapinya secara wajar pula. Namun, memahami perasaan anak juga ada batasan.
Kita tetap perlu menempatkan diri kapan harus tegas, kapan kita harus berkata tidak, kapan tidak harus menuruti kemauan anak. Sehingga anak akan belajar menempatkan diri dan perasaannya pada berbagai situasi yang dihadapi.
Mulai sekarang, yuk berhenti memberi cap pada anak dan belajar memvalidasi emosinya. Semangat belajar tak kenal lelah untuk Ayah dan Bunda. (*)
Oleh: Isnatul Chasanah, S. Psi.