Tentang Kami
Social WorkerLAZISMU adalah lembaga zakat nasional dengan SK Menteri Agama RI No. 90 Tahun 2022, yang berkhidmat dalam pemberdayaan masyarakat, melalui
Suatu hari saat naik kereta commuterline di Jakarta, di dalam gerbong yang tidak terlalu padat karena bukan jam berangkat/pulang kerja, saya menyaksikan satu pemandangan unik. Unik di masa sekarang, sebab pemandangan ini sudah sangat jarang bisa disaksikan. Dari ratusan penumpang dalam satu gerbong itu, baik yang duduk maupun berdiri, satu orang ini tampak begitu khusyuk menunduk. Tangannya membawa sebuah buku bacaan, dan ia tampak fokus membaca.
Pemandangan ini adalah satu-satunya, sebab semua penumpang selain ia, meski sama-sama menunduk, tapi menunduk pada sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan cahaya dan gambar yang berganti-ganti. Ya, apalagi kalau bukan ponsel alias HP.
Duh, rasanya adem dan terinspirasi pada satu penumpang itu. Dalam perjalanan yang membawanya ke tempat tujuan, ia memanfaatkannya untuk membaca buku: apapun yang dibaca itu. Mari kita tengok ke diri kita sendiri, berapa banyak buku yang kita baca dalam setahun terakhir? Sepuluh, lima, satu, atau bahkan tidak sama sekali?
Satu pengalaman lain juga ikut menampar diri saya. Ceritanya suatu hari saya melewati toko buku kecil di dekat sebuah kampus negeri ternama. Saat lewat, mata saya langsung tertuju pada satu paket berisi dua buku karya Buya Hamka. Kaki saya pun tergerak belok ke toko yang berada di deretan kios-kios alat tulis, warung makan, dan toko-toko perlengkapan mahasiswa itu.
“Ah, saya senang sekali ada yang mampir ke sini. Saya baru buka tiga minggu, dan belum dapat penglaris. Anak sekarang tidak suka membaca buku. Isinya main HP saja. Buku-buku ini mana ada yang cari,” kata pemilik toko itu begitu saya mampir. Padahal, saya juga belum membuka obrolan sama sekali. Hanya berdiri melihat-lihat koleksi buku yang tertumpuk.
Rasanya malu mengaku sebagai umat Islam yang wahyu pertamanya adalah Iqro’: membaca, tapi diri ini begitu jarang atau tidak pernah membaca. Riset Perpustakaan Nasional RI mengatakan minat baca masyarakat Indonesia di tahun 2022 meningkat 7,4% dibandingkan tahun 2021. Namun, berita itu tidak bisa kita sambut gembira begitu saja. Sebab, data UNESCO tahun 2022 mengatakan Indonesia adalah negara di urutan 60 dari 61 negara yang paling rendah tingkat literasinya. Itu artinya, Indonesia menempati ranking nomor dua dari bawah sebagai negara paling malas membaca.
Perpustakaan di Indonesia tergolong banyak, apalagi ternyata Jawa Timur tercatat memiliki perpustakaan terakreditasi terbanyak di Indonesia. Fakta ini sungguh menyedihkan, bahwa ternyata masyarakat kita tidak gemar membaca.
Dunia memeringati tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Peringatan ini dimulai pada 1967, ditetapkan oleh UNESCO. Peringatan itu bertujuan untuk meningkatkan literasi masyarakat. Sebenarnya, berbicara soal aksara tidak hanya berbicara soal orang bisa membaca atau buta huruf. Dibandingkan tahun awal kemerdekaan, angka buta huruf di Indonesia saat ini sudah jauh berkurang.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2020 menyebut angka buta huruf di Indonesia sebesar 1,71% dari total jumlah penduduk, atau kira-kira 2,96 juta orang. Mirisnya, penelitian UNESCO mengatakan penyebab utama buta huruf adalah kemiskinan dan prasangka terhadap perempuan. Mengapa perempuan? Karena, 63% dari orang yang buta huruf adalah perempuan.
Namun demikian, melek literasi tidak berarti melek huruf saja. Lebih dari itu, terliterasi harus kita pahami lebih jauh: tidak buta huruf, bisa membaca, memahami arti kata, dan paham dengan isu atau hal yang terjadi di lingkungan sekitar.
Berapa banyak anak muda –bahkan juga orang tua—yang bisa membaca tapi tidak tahu arti kata tertentu, padahal itu masih Bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa wahyu yang turun pertama kali pada Nabi Muhammad adalah Iqro’: bacalah. Kita diperintah membaca, supaya kita mengetahui, supaya kita berpikir, supaya kita bergerak.
Beberapa referensi menyebut Nabi tidak bisa membaca dan menulis. Hal itu juga disebut dalam al-Quran surat al-A’raf ayat 157-158, tapi Nabi menerima wahyu dengan mendengar, dan lalu menghafalnya. Kita, kalau membaca saja tidak mau, apa kita sanggup menghafal?
Kita harus menyadari bahwa membaca adalah kunci pintu yang akan membuka jalan pikiran kita dan membuat kita bisa memutuskan langkah pertama. Itulah yang akan menjadi lompatan perubahan. Tapi kalau kita malas membaca, pikiran kita jumud, akal kita tidak bisa berimajinasi, pengetahuan kita tidak berkembang, apa yang bisa kita cita-citakan? Generasi maju hanyalah mimpi.
Peringatan hari aksara bukan hanya momentum tahunan. Kita sebagai umat Islam harus terlecut pada Iqro’ yang diperintahkan itu. Bacalah apa saja: kitab suci kita, buku-buku bacaan ringan sampai berat, berita, karya sastra, apapun itu, maka pikiran kita akan terbuka, maka kita bebas berpikir, maka kita punya bekal dan senjata dalam melangkah menggapai cita. (isc)